Petani Sawit Keluhkan Harga Jatuh,: Pemerintah Tinjau Kembali
Petani Sawit Keluhkan Harga Jatuh,: Pemerintah Tinjau Kembali

Petani Sawit Keluhkan Harga Jatuh,: Pemerintah Tinjau Kembali

Petani Sawit Keluhkan Harga Jatuh,: Pemerintah Tinjau Kembali

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Petani Sawit Keluhkan Harga Jatuh,: Pemerintah Tinjau Kembali
Petani Sawit Keluhkan Harga Jatuh,: Pemerintah Tinjau Kembali

Petani Sawit Keluhkan Harga di berbagai wilayah Indonesia kembali mengeluhkan anjloknya harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani. Dalam dua bulan terakhir, harga TBS di sejumlah sentra produksi seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan turun drastis dari kisaran Rp 1.800 per kilogram menjadi hanya sekitar Rp 1.200–1.300. Penurunan ini sangat memukul petani kecil yang tidak memiliki akses langsung ke pabrik kelapa sawit (PKS) atau bekerja secara mandiri tanpa dukungan koperasi.

Menurut Darmawan, petani sawit asal Siak, Riau, harga ini sudah berada di bawah biaya produksi harian. “Bayangkan saja, biaya pupuk naik, solar naik, tapi harga jual malah anjlok. Kami rugi terus,” ujarnya dengan nada kecewa. Ia menyebut bahwa turunnya harga juga berdampak pada pengurangan jumlah pekerja dan tertundanya pemupukan serta perawatan kebun, yang berpotensi menurunkan produktivitas jangka panjang.

Penyebab anjloknya harga TBS ini dinilai berasal dari penurunan harga crude palm oil (CPO) di pasar global, yang dipicu oleh melemahnya permintaan dari negara importir utama seperti India dan Tiongkok. Selain itu, distribusi yang terganggu akibat cuaca ekstrem di beberapa wilayah turut menghambat pengangkutan dari kebun ke pabrik, memperpanjang antrean dan mempercepat proses penurunan mutu buah.

Petani plasma yang tergabung dalam koperasi pun tidak lepas dari tekanan ini. Banyak koperasi menghadapi kendala dalam negosiasi harga dengan pihak pabrik, karena mekanisme penentuan harga acuan dari pemerintah daerah dinilai terlalu lambat menyesuaikan dinamika pasar. Beberapa petani bahkan menjual hasil panen ke tengkulak dengan harga lebih rendah demi mendapatkan uang tunai cepat.

Petani Sawit Keluhkan Harga, lembaga swadaya masyarakat dan asosiasi petani mendesak adanya reformasi tata niaga sawit, termasuk pemangkasan rantai distribusi yang terlalu panjang dan tidak transparan. Mereka juga meminta pemerintah pusat segera turun tangan untuk menstabilkan harga melalui mekanisme insentif atau subsidi terbatas bagi petani kecil yang terdampak.

Respon Pemerintah Dari Petani Sawit Keluhkan Harga: Evaluasi Harga Acuan Dan Peran Perusahaan Besar

Respon Pemerintah Dari Petani Sawit Keluhkan Harga: Evaluasi Harga Acuan Dan Peran Perusahaan Besar, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan tengah mengkaji ulang kebijakan penetapan harga acuan TBS. Pemerintah berjanji akan mempercepat proses evaluasi harga dasar di setiap provinsi, agar lebih mencerminkan kondisi pasar dan tidak merugikan petani kecil.

Direktur Jenderal Perkebunan, Ir. Andi Nur Alam Syah, menyatakan bahwa pemerintah telah menggelar rapat koordinasi lintas kementerian dan melibatkan perwakilan petani, perusahaan, dan akademisi untuk mencari titik temu. “Kami sedang memikirkan skema jangka pendek seperti subsidi transportasi atau bantuan logistik bagi petani mandiri,” ujarnya dalam konferensi pers pekan lalu.

Namun demikian, kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan karena dikhawatirkan akan memicu resistensi dari pelaku industri besar. Perusahaan-perusahaan sawit yang tergabung dalam GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) meminta agar intervensi pemerintah tidak menekan profitabilitas mereka secara drastis. Mereka justru mendorong peningkatan daya saing ekspor melalui perbaikan infrastruktur pelabuhan dan penurunan biaya logistik.

Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto disebut telah menginstruksikan Kementerian Koordinator Perekonomian untuk melakukan pemetaan ulang rantai pasok sawit dari hulu ke hilir. Fokus utamanya adalah memastikan tidak ada pihak yang mengambil keuntungan berlebihan di tengah penderitaan petani. Salah satu usulan yang mengemuka adalah kewajiban transparansi harga pembelian TBS dari pabrik ke petani secara digital dan real-time melalui aplikasi resmi pemerintah.

Langkah lain yang disiapkan adalah pembentukan Tim Pengawas Harga TBS di tingkat kabupaten, yang bertugas untuk mengawasi transaksi dan melaporkan indikasi pelanggaran harga acuan. Pemerintah juga berencana memperkuat koperasi petani agar lebih kuat dalam negosiasi harga dengan pabrik.

Ketimpangan Akses Pasar: Petani Mandiri Jadi Korban Sistem Yang Tidak Adil

Ketimpangan Akses Pasar: Petani Mandiri Jadi Korban Sistem Yang Tidak Adil adalah ketimpangan akses terhadap pasar dan fasilitas pengolahan. Petani mandiri, yang jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 40% dari total pelaku sawit di Indonesia. Kerap tidak memiliki kelembagaan yang kuat seperti koperasi atau kemitraan dengan perusahaan besar. Akibatnya, mereka harus menjual TBS ke tengkulak dengan harga yang jauh lebih rendah.

Ketimpangan ini sudah berlangsung lama dan menjadi masalah struktural yang belum terpecahkan. Di banyak daerah, petani mandiri tidak memiliki akses langsung ke PKS karena keterbatasan transportasi. Atau karena pabrik hanya mau menerima buah dari mitra resmi mereka. Kondisi ini menciptakan oligopoli pasar yang menyulitkan petani menjual TBS dengan harga yang adil.

Pengamat pertanian dari IPB, Prof. Dr. Rachmat Subagyo, menyoroti bahwa reformasi. Tata kelola agribisnis sawit harus dimulai dari penguatan posisi petani dalam rantai nilai. “Jika tidak ada intervensi dalam bentuk penguatan koperasi, akses ke pembiayaan murah, dan pendampingan manajemen. Maka petani mandiri akan selalu jadi pihak yang dirugikan dalam sistem ini,” katanya.

Ia juga mengkritik minimnya implementasi traceability atau pelacakan asal TBS dari kebun ke pabrik. Dalam banyak kasus, tidak ada sistem yang mencatat secara transparan dari mana TBS berasal dan berapa harga yang diterima petani. Hal ini membuat pelanggaran terhadap harga acuan sulit dibuktikan.

Pemerintah juga didorong untuk memberikan akses khusus bagi petani mandiri ke dana BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Yang selama ini lebih banyak digunakan untuk subsidi biodiesel dan program perusahaan besar. Dengan dana tersebut, petani bisa mendapatkan pelatihan, benih unggul, hingga bantuan pemasaran langsung ke pembeli.

Harapan Petani Dan Jalan Menuju Solusi Berkelanjutan

Harapan Petani Dan Jalan Menuju Solusi Berkelanjutan dan sistem tata niaga yang belum berpihak. Pada petani, muncul berbagai inisiatif akar rumput yang berusaha memberikan solusi dari bawah. Sejumlah komunitas petani di Sumatera Barat dan Kalimantan Barat mulai membentuk. Koperasi digital yang menghubungkan petani langsung dengan pabrik pengolahan dan pembeli ekspor kecil-kecilan.

Salah satu koperasi digital di Pasaman Barat, misalnya, telah berhasil menandatangani kontrak dengan pembeli dari India menggunakan sistem pembayaran online. Inisiatif ini membuktikan bahwa petani kecil sebenarnya memiliki potensi besar jika diberi akses pada teknologi dan pasar yang adil.

Namun, untuk mewujudkan solusi jangka panjang, keterlibatan pemerintah tetap menjadi kunci. Reformasi tata niaga harus diarahkan untuk membangun sistem agribisnis sawit yang transparan, berkeadilan, dan inklusif. Presiden Prabowo dalam beberapa pernyataannya juga telah menyampaikan komitmen untuk memperkuat ketahanan petani lokal sebagai bagian dari ketahanan nasional.

Selain itu, agenda keberlanjutan lingkungan juga tidak boleh diabaikan. Pemerintah didorong untuk mempercepat sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) bagi petani kecil. Agar mereka bisa menembus pasar global yang menuntut kelestarian. Untuk itu, pendampingan teknis dan insentif harus disediakan agar petani tidak merasa terbebani.

Akhirnya, masa depan sawit Indonesia tidak hanya bergantung pada harga di pasar dunia, tapi pada bagaimana negara melindungi petaninya. Jika petani dibiarkan menghadapi pasar sendirian, maka industri sawit hanya. Akan menguntungkan segelintir pihak, dan ketimpangan ekonomi di daerah akan semakin dalam. Saatnya pemerintah menjadikan kesejahteraan petani sebagai indikator utama keberhasilan sektor perkebunan nasional dari Petani Sawit Keluhkan Harga.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait