Peluang Bagi Indonesia Untuk Menjual Kredit Karbon saat ini terbuka sangat luas, terutama karena negara ini memiliki sumber daya alam yang melimpah dan beragam ekosistem yang mampu menyerap karbon dalam jumlah besar. Sebagai negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Indonesia menyimpan potensi karbon yang tinggi baik di hutan primer, mangrove, maupun lahan gambut. Melalui upaya pelestarian hutan, rehabilitasi lahan kritis, serta penerapan sistem pertanian berkelanjutan seperti agroforestri.
Kredit karbon sendiri merupakan satuan pengukuran yang mewakili penurunan atau penyerapan satu ton karbon dioksida dari atmosfer. Dan bisa di jual di pasar nasional maupun internasional. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mendukung perdagangan karbon ini. Salah satunya melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Yang menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan pasar karbon di dalam negeri.
Dengan adanya regulasi ini, berbagai sektor seperti energi, industri, transportasi, dan kehutanan dapat berpartisipasi dalam perdagangan karbon. Bahkan, Indonesia sudah mulai membuka jalur untuk perdagangan karbon internasional setelah sempat di hentikan selama beberapa tahun. Langkah ini di harapkan mampu menarik investor asing untuk mendanai proyek-proyek hijau di Tanah Air. Termasuk konservasi hutan dan pengembangan energi terbarukan.
Selain memberikan keuntungan ekonomi, penjualan kredit karbon juga memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang berkomitmen terhadap mitigasi perubahan iklim. Namun, agar peluang ini dapat di manfaatkan secara optimal, di perlukan sistem pengawasan yang ketat, transparansi data, serta sertifikasi internasional agar kredit karbon Indonesia di akui di pasar global.
Agroforestri Intensif Bisa Jadi Aset Karbon Baru
Agroforestri Intensif Bisa Jadi Aset Karbon Baru karena sistem ini mampu menyerap dan menyimpan karbon dioksida (CO₂) secara signifikan melalui kombinasi tanaman pohon dan tanaman semusim di satu lahan. Dalam sistem ini, pepohonan berperan penting sebagai penyerap karbon melalui proses fotosintesis, di mana karbon dari atmosfer di simpan dalam batang, akar, dan tanah.
Semakin banyak dan rapat pohon yang di tanam, semakin besar pula kemampuan lahan tersebut dalam mengurangi kadar karbon di udara. Itulah sebabnya, agroforestri intensif kini di lirik sebagai salah satu solusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim sekaligus sebagai sumber baru dalam perdagangan karbon atau kredit karbon. Di Indonesia, peluang pengembangan agroforestri sebagai aset karbon sangat besar karena negara ini memiliki lahan luas yang cocok untuk pertanian campuran.
Selain menghasilkan produk pertanian dan kehutanan, sistem ini juga mampu memperbaiki kualitas tanah, mencegah erosi, dan menjaga ketersediaan air tanah. Jika di kelola secara berkelanjutan, agroforestri intensif tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi petani, tetapi juga dapat menghasilkan nilai ekonomi tambahan dari penjualan kredit karbon. Pemerintah melalui kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) pun mendorong proyek-proyek berbasis lahan untuk ikut berpartisipasi dalam pasar karbon, termasuk sistem agroforestri yang sudah terbukti menyerap karbon dengan efisien.
Untuk menjadikan agroforestri intensif sebagai aset karbon yang di akui secara global, di perlukan sistem pengukuran dan verifikasi yang ketat, seperti Monitoring, Reporting, and Verification (MRV). Sistem ini memastikan bahwa jumlah karbon yang di serap benar-benar dapat di hitung secara ilmiah dan transparan. Dengan dukungan teknologi, kebijakan pemerintah, serta partisipasi masyarakat, agroforestri intensif bisa menjadi aset karbon baru yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga memperkuat ekonomi hijau Indonesia di pasar karbon internasional.
Petani Bisa Memperoleh Manfaat Langsung
Petani Bisa Memperoleh Manfaat Langsung melalui program agroforestri yang terintegrasi dengan skema kredit karbon karena sistem ini memberikan keuntungan ganda, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan. Dalam skema ini, petani tidak hanya mendapatkan hasil dari tanaman pangan, buah, atau kayu yang mereka tanam, tetapi juga bisa memperoleh pendapatan tambahan dari penjualan kredit karbon. Kredit karbon di peroleh dari kemampuan lahan agroforestri dalam menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer melalui pepohonan dan vegetasi yang tumbuh.
Melalui integrasi ini, petani menjadi bagian aktif dalam upaya mitigasi perubahan iklim global, sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan di sekitar mereka. Misalnya, sistem agroforestri dapat membantu memperbaiki kesuburan tanah, menjaga ketersediaan air, dan mencegah erosi. Dengan dukungan dari lembaga pemerintah, swasta, atau organisasi lingkungan, petani bisa mendapatkan pelatihan, pendampingan teknis.
Pemerintah Indonesia sendiri mulai mendorong penerapan sistem ini melalui kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Yang membuka peluang besar bagi sektor kehutanan dan pertanian berkelanjutan untuk ikut dalam perdagangan karbon. Dengan adanya sistem pemantauan dan verifikasi yang transparan. Kontribusi petani dapat diakui secara resmi, sehingga mereka bisa menikmati hasil nyata dari pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Melalui program ini, petani tidak hanya menjadi penghasil pangan. Tetapi juga penjaga keseimbangan ekosistem dan pejuang lingkungan yang memperoleh manfaat ekonomi langsung dari kegiatan Agroforestri.